Gaduh suara dari tempaan besi menyambut kami saat kami bertamu ke rumah Sri Hartini di sore hari. Rumahnya sederhana, tetapi terlihat sesak dengan berbagai alat bengkel juga perlengkapan produksi tenun mulai dari panci raksasa hingga keranjang dalam berbagai ukuran. Sedikit lama kami menunggu untuk bisa mengobrol dengannya. Baru saja ia duduk, gadis-gadis Pringgasela menyalakan pengeras suara untuk berlatih menari di rumahnya. Begitulah rumah Sri Hartini, gaduh, penuh orang, dan barang–rumah yang juga menjadi bengkel dan sanggar bagi penduduk Pringgasela. Walaupun begitu, ia tidak merasa privasinya terganggu. Ketika kami mulai mewawancarainya, bunyi musik latar tarian sekaligus ketukan keras besi dari bengkel masih terdengar jelas meskipun ia sudah menutup pintu.
Sri adalah perempuan paling sibuk di desa, ia mewakili suara Perempuan di wilayah kecamatan, sudah dua tahun pula ia ditunjuk sebagai ketua dari Kelompok Nina Penenun. Selain itu, ia juga mempunyai dua peran sekaligus di rumah; sebagai seorang anak dan kepala rumah tangga. “Sebenarnya saya sangat sulit mengatur waktu, apalagi orang tua saya kan orang jompo, sehingga saya memegang dua fungsi sebagai kepala keluarga dan seorang anak. Berat sekali apalagi kalau tiba-tiba dipanggil Ibu camat untuk ke Pendopo dan saya belum selesai memasak untuk bapak. Belum lagi kalau ada pertemuan di Kelompok Nina Penenun. Kadang kalau tidak terlalu penting saya mengarang alasan yang kuat untuk tidak datang,” jelas Sri.
Dampak Orang Tua yang Terbuka
Dalam konvensi budaya sekitar yang masih menganggap bahwa seorang suami dapat mencuci piringnya sendiri sebagai hal yang tabu, ia tidak dibesarkan dengan nilai-nilai yang terlalu konservatif dalam urusan gender. Ayahnya selalu mendukung Sri untuk melakukan hal apapun sejak kecil dan tidak pernah membedakannya dengan adik-adiknya yang semuanya laki-laki. Bahkan Sri mengakui bahwa adiknya lebih telaten dan disiplin ketika berhubungan dengan urusan rumah, sampai terkadang ia malu sendiri. Walaupun sudah punya istri, adik laki-lakinya tidak pernah minta untuk dibuatkan kopi, bahkan mereka bisa memasak atau menyapu rumah sendiri tanpa tergantung istri. Saat ditanya tentang sosok ayahnya, Sri berkata, “Wah, ayah saya jago masak! Masakannya enak-enak!”. Ayah Sri percaya bahwa pekerjaan rumah adalah pekerjaan semua orang, tanpa memandang gender, dan begitu pula dengan mimpi, hak setiap orang, apapun gendernya.
Tentang Pekerjaan Rumah Tangga
Walaupun besar di daerah pedesaan, Sri juga mempunyai pemahaman yang luas terhadap kesetaraan gender, ia dapat membahas berbagai kasus yang akrab kita dengar dalam wacana kesetaraan gender. Contohnya tentang pekerjaan domestik tanpa bayaran, ia menyadari bahwa seharusnya pekerjaan rumah pun dapat dihitung sebagai pekerjaan profesional, “Pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang tidak dibayar menurut saya. Tidak dibayar dalam artian, kalau kita menyewa asisten rumah tangga kan termasuk dalam anggaran rumah tangga. Kadang laki–laki itu tidak sadar bahwa perempuan itu banyak sekali pekerjaan–pekerjaan yang tidak dibayar misalkan mencuci piring, membersihkan rumah, merawat anak. Bayangkan berapa banyak yang harus kita bayarkan jika kita menyewa asisten, namun banyak orang yang tidak sadar tentang itu,” jelas Sri panjang lebar. Sri memang sosok yang gemar berkegiatan, selain menyibukkan diri lewat kelompok Nina Penenun, ia juga berusaha menghadiri apapun jenis kegiatan yang dilakukan baik di desa dan di kecamatan.
Pola didik yang ia dapatkan ketika kecil membentuknya hingga dapat mempunyai mimpi. Jika dibandingkan dengan perempuan di sekitarnya, Ibu Sri mempunyai cita-cita yang besar: ia ingin membangun desanya sendiri. Mungkin hal inilah yang mendorongnya untuk tetap aktif dalam membangun berbagai organisasi masyarakat, berpartisipasi dalam pemerintahan, hingga membuat anak-anak muda untuk aktif mengembangkan diri di berbagai kegiatan yang ia selenggarakan di rumahnya sendiri.
Sri dan Mimpi untuk Desanya
Kegemarannya untuk tetap aktif dan sibuk, didasari oleh pemikirannya yang visioner. “Saya ingin Pringgasela lebih maju. Mulai dari hal kecil saja seperti lebih maju dalam mengelola sampah, memperbaiki jalur air, dan memiliki Bale agar dapat menjadi pusat kegiatan seperti tenun dan kesenian lain di desa ini”. Tidak banyak seseorang yang mampu melihat jauh ke masa depan seperti Ibu Sri, selain visioner, ia juga mempunyai pemahaman kesetaraan gender yang baik. Alangkah baiknya jika pelatihan tentang kesetaraan gender untuk keluarga dapat dilaksanakan lebih sering di Pringgasela, sehingga dapat melahirkan lebih banyak perempuan seperti Ibu Sri.