Ketika kami Sampai di Pringgasela, Inaq Aini Hukmi, seorang penenun senior dari daerah tersebut sudah selesai memasak untuk keluarganya dan bersiap untuk beribadah di masjid dimana saat itu waktu masih menunjukkan pukul lima dini hari. Sembari menunggu Bu Aini kembali dari masjid, kami berkeliling area rumahnya untuk mencari lokasi yang menarik untuk difoto. Tak lama kemudian ia pulang kembali ke rumahnya, dan tanpa basa-basi ia langsung menenun sambil menjawab beberapa pertanyaan kami.
Bu Aini telah lewat umur paruh baya. Di antara penenun lainnya, ia termasuk penenun yang paling senior. Karena itu, ia lebih lancar berbicara dengan bahasa daerah Lombok ketimbang Bahasa Indonesia. Bu Aini tidak suka menjadi pusat perhatian. Ketika ditanya tentang dirinya sendiri, ia hanya menjawab “Ah, saya orangnya biasa saja,” sambil tersenyum kecil. Walaupun begitu, kami tahu ia bukanlah seorang yang biasa saja, karena tak lama setelah itu, ia langsung berdiri dan jalan tergopoh-gopoh untuk menuju ke sawah. “Saya mau ke sawah, ikut saja,” ujarnya dengan Bahasa Lombok.
Bunglon Yang Berganti Banyak Peran Dalam Sehari
Waktu belum juga menunjukkan pukul enam pagi hari, tetapi Bu Aini sudah berganti peran sebanyak empat kali. Pertama, sebagai Ibu rumah tangga, kedua sebagai seorang Muslim, ketiga sebagai penenun, dan keempat sebagai petani. Ia berjalan begitu cepat ke arah sawah, sementara kami yang masih muda saja kesulitan untuk mengejarnya.
Setelah Bu Aini selesai mengurus sawah, Ia bergegas kembali ke rumahnya untuk menenun dan berbagi cerita dengan kami. Bu Aini masih ingat, saat Ia masih kecil, Ia sering diutus orang tuanya untuk menanam tanaman tarum (indigofera tinctoria, tanaman pewarna indigo natural), yang birunya merupakan warna utama dalam tenun Lombok. Walaupun Bu Aini hanya mampu menempuh pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar, tetapi ia tampak berbinar ketika mengatakan bahwa anak-anaknya telah menamatkan pendidikan tinggi; tiga orang anak berhasil lulus SMA dan satu orang bahkan berhasil lulus kuliah.
Tentang Memperbarui Mimpinya
Bukan hal yang mengejutkan memang setelah melihat karya tenun Bu Aini, tetapi ia memang berhak berbangga akan dirinya. Berkat tenun yang ia produksi, anak-anaknya dapat lulus sekolah. “Pernah saya saat itu sedang butuh sekali uang untuk biaya sekolah anak saya, lalu terpikir untuk menumpuk kain tenun yang sudah saya buat sebagai tabungan untuk keadaan darurat,” ujarnya, sambil memperlihatkan koleksi tenun yang telah ia buat. “Waktu itu masih tahun 80-an, saya bisa menjual kain-kain tenun tersebut dengan mudah di pasar. Satu kain bisa dihargai sepuluh hingga tiga puluh ribu, dan sekali jual bisa sampai sepuluh atau lima belas lembar kain. Ya, kalau dipikir-pikir, itu jumlah yang besar ya waktu itu. Karena uangnya berlebih, uangnya tidak hanya saya gunakan untuk pendidikan, tapi juga untuk beli emas”.
Sedari kecil, Bu Aini tidak pernah membayangkan ataupun berkeinginan yang muluk di masa depan. Walaupun begitu, dengan segala keterbatasan yang ia alami, prestasinya dalam hidup begitu memukau. Ketika ditanya tentang arti kesuksesan, ia menjawab dengan malu-malu, “Sukses itu bagi saya artinya ada uang cukup untuk menyekolahkan anak. Saya sudah berhasil menyekolahkan anak-anak saya jauh lebih tinggi daripada saya. Sekarang, saya ingin bisa naik haji. Mungkin nanti”.
Seorang Ibu yang Memprioritaskan Kebutuhan Keluarga
Tidak ada suatu ambisi atau keinginan yang terlalu tinggi bagi Bu Aini, tapi memang begitulah Ia; tulus dan berhati jujur. Walaupun peran sosialnya beragam, baginya, ia hanya mempunyai satu pekerjaan: seorang ibu rumah tangga. Dari seorang gadis kecil yang terbiasa menanam daun tarum dan menenun, Bu Aini telah menjadi lebih dari apa yang ia sangka; ia tak hanya mampu menyajikan makanan bagi keluarganya, tetapi ia juga dapat membuat dapur terus mengepul.
Hebatnya, Bu Aini mempunyai pemahaman bisnis secara praktis tanpa perlu menjalani pendidikan formal tentang berbisnis. Keteguhan hati, kemampuan, dan pengetahuannya dalam menenun telah membawa keluarganya kepada masa depan yang lebih baik. Kami percaya bahwa Bu Aini masih memiliki potensi yang lebih besar untuk dikembangkan, khususnya di bidang manajemen keuangan dan strategi bisnis. Tetapi, pola pikir para penenun di Lombok, seperti Bu Aini, masih terbatas sekedar pada kemampuan bertahan hidup. Oleh karena itu, pelatihan semacam ini akan sangat dibutuhkan untuk mereka.