Grek grek grek grek, kami bertemu secara tiba-tiba dengan bu Sepaah ketika ia sedang mengerjakan salah satu proses paling sulit dari tenun: rane. Tahap ini merupakan tahap pembuatan motif yang dilakukan dengan alat bernama anik didukung dengan alat bernama erek – erek. Bak seorang pesulap, jemari Bu Sepaah dengan lincah menyusun satu persatu benang biru untuk dipadukan dengan benang kuning dan sedikit benang cokelat. Setelah beberapa lama ia menyusun benang, akhirnya benang tersebut ia gulung dan ia masukan ke kantong kresek. Berjalan tergopoh-gopoh, ia menyerahkan benang-benang jadi tersebut pada tetangganya. “Pesanan, dek,” ujar Ibu Sepaah yang sedang memakai kerudung kuning dengan hiasan warna-warni di bawahnya, juga celana biru yang memperlihatkan keserasian warna yang harmonis. Sepertinya, walaupun tidak pernah sekolah desain, Ibu Sepaah mempunyai kepekaan estetik yang cukup baik. Dibandingkan perempuan di sekitarnya, penampilannya juga cukup eksentrik.
Seperti para penduduk senior di Pringgasela pada umumnya, Bu Sepaah tidak lancar berbahasa Indonesia. Walaupun ibunya meninggal ketika ia kecil, ia masih sempat mengenyam pendidikan hingga SD. Dibesarkan oleh ayahnya seorang diri, ia bukan berasal dari keluarga yang cukup mampu, bahkan terkadang ia tidak bisa membeli makanan. Karena itulah ketika ia baru saja menginjak usia remaja, ia mulai berpikir bagaimana caranya agar ia bisa membantu ayahnya yang mempunyai lima orang anak. Melihat orang bisa mendapatkan hasil dari menenun, ia mulai belajar menenun dari tetangganya. Langsung setelah ia lancar menenun, ia diupah oleh orang-orang disekitarnya untuk menenun. Ternyata karena pekerjaannya rapi dan bagus, banyak orang memberikannya pekerjaan untuk menenun. Ketika uang telah terkumpul, ia berpikir bagaimana caranya agar ia dapat memproduksi tenun sendiri, sehingga upah yang didapatkan kemudian ia belikan benang dan alat-alat menenun. Dari situlah ia mulai aktif menjadi pengrajin tenun hingga sekarang.
Kenyang Dengan Asam Garam Kehidupan
Bu Sepaah telah mengalami pasang surutnya kehidupan. Setelah beranjak dewasa ia menikah dan dikaruniai dengan empat orang anak, sayangnya anaknya yang kedua meninggal ketika masih kecil. Setelah kelahiran anaknya yang keempat, suaminya juga meninggal. Sepaah tidak bisa lagi menghitung hari-hari dimana ia menitikkan air mata. Untungnya, anaknya yang ketiga memiliki pekerjaan tetap sebagai tenaga kerja di Malaysia, sedangkan anak pertamanya telah meraih gelar sarjana. Walaupun mengalami banyak tantangan, ibu Sepaah mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi berkat pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga, penenun lepasan, maupun pengrajin tenun. Dari cerita Ibu Sepaah, kami memahami betul bahwa tradisi menenun ini mempunyai banyak manfaat dalam hal pemberdayaan ekonomi.
“Di Lombok ini tidak pernah ada orang menganggur, dek,” ucapnya dalam bahasa Lombok. Banyak dari proses tenun yang rumit dapat ia kerjakan dengan hasil yang sangat rapi. Contohnya proses rane yang membutuhkan ketelitian tingkat tinggi, juga proses nyusuk suri dimana penenun harus memasukkan satu-persatu benang ke dalam sebuah alat yang berupa sisir sebelum siap ditenun. Hingga saat ini, ia dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan baik dari pekerjaannya.
Harapan Bu Sepaah: Dari Kain ke Baju dan Produk Siap Pakai
Banyak dari pengrajin tenun seperti ibu Sepaah yang sangat terampil, juga mempunyai kepekaan estetika yang baik. Karena itulah hasil tenunnya selalu laku terjual. Walaupun begitu, ia berharap agar ada lebih banyak lagi pemasar yang dapat menyalurkan produksi tenun di Pringgasela hingga ke luar Lombok. Ketika pasar semakin luas, pertukaran ilmu antara pasar dan produsen akan terjadi sehingga pengembangan produk dapat terjadi secara organik. Selain itu pelatihan dalam pengembangan produk sepertinya diperlukan agar para penenun di Pringgasela tidak hanya dapat menjual tenun dalam bentuk kain, namun juga produk-produk lain seperti bantal, tempat pensil, tas, maupun hal lainnya yang dapat dipakai secara praktis.